Sore itu, langit abu-abu menyimpan jutaan titik air yang siap jatuh. Gerimis mulai turun pelan-pelan saat bel sekolah berbunyi, menandakan pulang. Aku berdiri di depan kelas, memandang ke arah lapangan yang basah. Di sisi lain lapangan, aku melihatnya—sosok yang selama satu semester ini membuat hatiku berdebar-debar setiap kali bertemu mata.
Namanya Ardi. Duduk di kelas sebelah, dia dikenal karena sikapnya yang kalem dan senyum tipisnya yang muncul tanpa alasan. Aku mengenalnya pertama kali saat lomba kebersihan antar kelas, waktu kami sama-sama terpilih jadi koordinator kebersihan. Sejak itu, kami jadi sering bertemu, ngobrol, bahkan saling bertukar tugas. Namun, entah kenapa, tiap kali dekat dengannya, kata-kata selalu tercekat di tenggorokan.
Sore itu, seperti kebiasaan, aku menunggu jemputan di depan gerbang sekolah. Tapi karena hujan turun, aku berlindung di bawah pohon besar dekat lapangan. Tanpa disangka, Ardi menghampiriku sambil membawa payung biru yang sudah sedikit rusak di ujungnya.
“Kamu belum dijemput?” tanyanya pelan, tapi cukup jelas meski suara hujan mulai menderas.
Aku menggeleng sambil tersenyum gugup. “Masih nunggu, kayaknya bakal telat.”
Dia mengangguk, lalu berdiri di sebelahku. Kami diam, hanya mendengarkan bunyi gerimis yang jatuh menabrak tanah dan daun-daun. Di tengah keheningan itu, entah karena hawa sore yang sendu atau karena hati yang penuh rasa, aku ingin sekali mengatakan sesuatu. Apa saja. Asal jangan diam.
“Enak ya hujan, adem,” kataku sok santai.
Ardi tertawa kecil. “Iya. Hujan tuh kayak… ngingetin kita buat pelan-pelan.”
Aku menoleh ke arahnya, penasaran dengan maksudnya. Dia tidak menjelaskan lebih lanjut, hanya tersenyum sambil memandangi langit. Senyumnya itu, entah kenapa, bikin jantungku makin kencang.
Langkah di Bawah Payung
Tak lama, ia menoleh padaku dan menawarkan, “Mau bareng ke gerbang? Aku anterin. Kamu bisa tunggu di pos satpam, lebih kering di sana.”
Awalnya aku ragu. Tapi kemudian aku mengangguk. Ia memayungi kami berdua, dan kami berjalan pelan melewati lapangan becek dan jalanan kecil yang basah. Aku bisa mencium aroma tanah basah, suara air yang mengalir kecil di pinggir jalan, dan… detak jantungku sendiri.
Jarak kami sangat dekat di bawah payung kecil itu. Tanganku nyaris bersentuhan dengan tangannya. Aku melirik ke arah pipinya yang terlihat dari bawah payung—merah, atau mungkin cuma efek cahaya sore yang temaram. Tapi bagiku, itu adalah momen yang sempurna.
“Sering kehujanan gini?” tanyanya tiba-tiba.
“Enggak juga. Biasanya dijemput pas cuaca cerah,” jawabku sambil terkekeh.
Dia ikut tertawa. “Berarti hari ini spesial dong?”
Aku tak bisa menahan senyum. “Iya, mungkin.”
Hujan dan Perasaan yang Terbuka
Saat kami sampai di pos satpam, aku merasa berat berpisah dengannya. Tapi seperti hujan yang tak bisa kita hentikan, waktu terus berjalan. Ardi menyerahkan payungnya padaku.
“Pakai aja dulu. Nanti kamu pulang biar enggak basah,” katanya.
Aku menolak halus, tapi dia meyakinkanku. “Serius, aku udah biasa lari kecil. Lagian rumahku dekat.”
Dan benar saja, dia berlari menembus gerimis, meninggalkan bayangannya yang perlahan menjauh sambil melambai. Aku berdiri mematung, memegang payungnya, sambil tersenyum tanpa sadar. Hari itu, untuk pertama kalinya, aku merasa jatuh cinta.
Payung dan Janji Kecil
Hari-hari berikutnya jadi berbeda. Kami jadi sering menyapa di koridor, tukar senyum di kantin, dan kadang duduk berdekatan saat ada pelajaran gabungan. Aku tahu, ini bukan cinta yang diumbar lewat status atau gombalan, tapi rasa nyaman yang tumbuh perlahan.
Aku akhirnya mengembalikan payung itu padanya seminggu kemudian, setelah menuliskan satu pesan kecil di bagian gagangnya: “Makasih buat payung dan harinya yang hangat.”
Ardi hanya tersenyum, tapi sejak itu, setiap hujan turun, dia selalu menoleh ke arahku, dan kami saling mengangguk seolah memahami satu rahasia kecil yang hanya kami berdua tahu.
Kenangan yang Tak Pernah Luntur
Waktu berjalan, dan kami lulus. Jalan kami berpisah, tapi hujan selalu punya cara membawaku kembali ke momen itu—sore gerimis, payung biru, dan langkah-langkah kecil di bawah langit abu-abu. Aku tak tahu di mana Ardi sekarang, atau apa kabarnya. Tapi yang aku tahu, dia adalah bagian dari cerita masa muda yang takkan pernah kulupakan.
Cinta pertama memang sering kali sederhana, tanpa banyak janji atau kata manis. Tapi justru karena kesederhanaannya, cinta itu jadi begitu berkesan. Bukan tentang memiliki, tapi tentang momen yang terasa abadi dalam kenangan.
Dan setiap kali hujan turun, aku masih bisa merasakan hangatnya perasaan itu—cinta yang lahir di bawah payung kecil, di antara gerimis, dan dalam diam yang penuh makna.
Baca Juga: madrid778
Leave a Reply