Perpustakaan sekolah bukan tempat yang populer bagi sebagian besar siswa. Namun bagi sebagian lainnya, tempat itu adalah surga ketenangan, aroma buku yang khas, dan tentu saja, momen tak terlupakan yang tak terduga—termasuk jatuh cinta. Bukan cinta yang lantang dan penuh drama, tapi cinta diam-diam, lembut, dan sederhana. Cinta yang membuat pipi memerah hanya karena bertemu mata di sela-sela rak buku.
Di sebuah sore yang tenang, aku duduk di pojok perpustakaan dengan setumpuk buku pelajaran sejarah. Fokusku sepenuhnya tertuju pada isi buku, hingga suara langkah pelan menghampiri dan sebuah suara lirih berkata, “Maaf, boleh pinjam buku yang di rak atas?” Aku menoleh, dan di sanalah dia—senior kelas dua yang selama ini hanya kukenal dari jauh.
Dia tersenyum sopan. Aku hanya mengangguk dan bergeser. Tapi entah mengapa, setelah itu aku tidak bisa membaca lagi. Kata-kata di halaman buku seperti menari-nari tak karuan. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, dan untuk pertama kalinya, perpustakaan menjadi tempat paling membahagiakan.
Awal dari Perasaan Diam-Diam
Sejak hari itu, aku jadi sering datang ke perpustakaan. Bukan hanya untuk membaca, tapi berharap bisa bertemu dia lagi. Kadang hanya sekadar melihat dia lewat, atau berdiri di rak yang sama dan pura-pura mencari buku padahal sebenarnya hanya ingin dekat. Aku menyukainya dalam diam. Tidak ada yang tahu, bahkan sahabat terdekatku.
Setiap tatapan singkat, setiap senyum kecil yang dia berikan saat berpapasan, cukup untuk membuat hatiku menghangat sepanjang hari. Aku selalu memilih tempat duduk yang sama, berharap dia akan datang dan duduk di dekatku lagi. Kadang kami hanya berjarak satu bangku, tapi rasanya seperti semesta ikut berhenti bergerak.
Perpustakaan Menjadi Tempat Rahasia
Perpustakaan adalah tempat di mana aku merasa aman untuk menyukainya. Tak ada keramaian, tak ada gangguan. Hanya aku, dia, dan deretan buku yang seakan menyimpan rahasia kami. Di balik buku-buku itu, aku mencuri pandang. Di balik lemari rak yang tinggi, aku diam-diam memperhatikannya mencatat atau membaca serius.
Pernah suatu kali, aku mendengar dia tertawa kecil saat membaca buku humor. Tawa itu menular, membuatku tersenyum sendiri. Aneh rasanya, betapa bahagianya hanya dengan hal sesederhana itu. Aku bahkan mencatat judul buku yang dia baca, lalu membacanya diam-diam, seolah mencoba menyelami dunia yang dia sukai.
Surat Tanpa Nama
Suatu hari, aku memberanikan diri menulis surat kecil. Bukan surat cinta, hanya kalimat sederhana, “Selamat membaca. Semoga harimu menyenangkan.” Tanpa nama, tanpa tanda tangan. Surat itu kuselipkan di halaman buku yang sering dia baca. Aku tidak tahu apakah dia membacanya, atau sekadar mengabaikannya. Tapi hanya dengan menulis dan membayangkan reaksinya, hatiku sudah cukup bahagia.
Surat-surat kecil itu berlanjut. Kadang hanya satu baris kalimat motivasi, kadang kutipan dari buku favorit. Semua kulakukan diam-diam, penuh ketakutan tapi juga harapan. Aku hanya ingin dia tahu bahwa ada seseorang yang memperhatikannya dari jauh, tanpa mengganggu.
Hari Ketika Dia Menyapa
Suatu sore yang tak terlupakan, saat aku sedang mencatat di perpustakaan, dia datang menghampiri dan berkata, “Kamu sering baca di sini, ya?” Aku mengangguk gugup, pipiku terasa panas. Dia duduk tak jauh dariku, membuka buku, dan kami membaca dalam diam. Tidak ada percakapan panjang, hanya keberadaan yang cukup untuk membuat sore itu terasa sangat istimewa.
Setelah itu, kami beberapa kali bertemu di perpustakaan. Kadang bertukar senyum, kadang saling sapa ringan. Tapi tak pernah lebih dari itu. Aku tetap menyimpannya dalam diam, tetap menulis surat tanpa nama, tetap merasa cukup hanya dengan melihatnya duduk beberapa meter dariku.
Waktu Terus Berjalan
Tahun ajaran berganti, dia lulus lebih dulu. Hari-hari di perpustakaan kembali sepi, kembali menjadi tempat belajar biasa tanpa getaran aneh di dada. Tapi setiap aku duduk di kursi yang biasa kutempati, aku bisa mengingat semuanya dengan jelas. Senyumnya, langkah kakinya, dan detik-detik kecil yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Cinta itu tidak pernah terucap. Tapi ia nyata. Ia tumbuh dalam keheningan, dalam kerahasiaan, dan dalam ketulusan. Bukan cinta yang perlu balasan, tapi cinta yang cukup untuk membuatku merasa hidup.
Kenangan yang Tidak Akan Luntur
Sekarang, setiap kali aku melewati perpustakaan—entah itu di sekolah lama, kampus, atau kota manapun—aku selalu teringat akan rasa itu. Rasa tersipu malu di balik buku, rasa jantung yang berdebar karena sapaan kecil, dan rasa bahagia hanya dengan melihat seseorang yang kita kagumi dari kejauhan.
Itulah kekuatan cinta masa muda. Cinta yang sederhana, yang tak membutuhkan alasan atau logika. Cinta yang tidak menuntut balasan, tapi meninggalkan jejak manis yang tak akan pernah hilang. Dan dari semua tempat di dunia, siapa sangka perpustakaan bisa jadi saksi dari cinta kecil yang begitu bermakna?
Baca Juga: madrid778
Leave a Reply