Lapangan upacara mungkin bagi sebagian orang hanya tempat yang membosankan. Berdiri lama, panas matahari menyengat, dan pidato yang tak ada habisnya. Tapi bagi sebagian orang lainnya, termasuk aku, lapangan upacara adalah tempat pertama kali hatiku bergetar—tempat pertama kalinya aku merasakan perasaan yang aneh tapi menyenangkan: jatuh cinta.
Hari Senin pagi, seperti biasa barisan siswa dibentuk rapi. Aku berdiri di barisan seperti biasa, setengah mengantuk karena malam sebelumnya begadang mengerjakan PR. Tapi semua rasa kantuk itu tiba-tiba lenyap saat mataku menangkap sosok baru di barisan kelas sebelah. Wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya, berdiri dengan tegak dan tatapan lurus ke depan.
Tak ada yang istimewa secara umum, tapi entah mengapa mataku terpaku. Dan saat ia tanpa sengaja menoleh, mata kami bertemu. Sekilas. Sangat cepat. Tapi cukup untuk membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.
Detik Singkat yang Membekas
Tatapan pertama itu hanya berlangsung kurang dari satu detik. Tapi rasanya seperti waktu berhenti. Aku bahkan tak sempat berpikir siapa namanya, dari kelas mana, atau berapa umurnya. Yang ada hanya rasa hangat yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku, dan rasa malu yang membuatku menunduk sambil pura-pura memperhatikan rumput di bawah kaki.
Sejak saat itu, upacara Senin tidak lagi membosankan. Justru jadi momen yang paling kutunggu. Setiap minggu aku mencari-cari sosok itu, berharap bisa berdiri di barisan yang tidak terlalu jauh agar bisa sekilas menatapnya lagi. Tidak untuk menyapa, tidak untuk mengajak bicara. Hanya cukup melihat dari jauh dan merasa bahagia.
Rasa Ingin Tahu yang Tumbuh Diam-Diam
Namanya siapa? Kelas berapa? Kenapa aku belum pernah lihat sebelumnya? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepalaku. Tapi aku terlalu malu untuk bertanya langsung. Jadi aku mulai menyelidik diam-diam. Bertanya secara tidak langsung ke teman satu angkatan, mencoba mencari tahu lewat album tahunan sekolah, bahkan berharap suatu hari kami satu piket kebersihan.
Rasa ingin tahu itu tak sekadar rasa penasaran. Ia berubah jadi semacam semangat yang membuatku lebih rajin datang pagi-pagi, lebih memperhatikan penampilan, bahkan lebih rajin sekolah hanya untuk berharap bisa melihat dia lagi di lapangan upacara.
Diam-Diam Menyukai, Diam-Diam Mendoakan
Aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku. Tidak lewat surat, tidak lewat pesan, tidak lewat sahabat. Aku menyukainya dalam diam. Setiap kali dia lewat di koridor sekolah, aku berpura-pura membaca buku, padahal mataku mencuri-curi pandang. Setiap dia tersenyum pada temannya, aku ikut tersenyum sendiri.
Lucunya, aku bahkan mendoakannya. Bukan doa yang serius seperti ingin berjodoh, tapi doa yang polos seperti, “Semoga dia selalu sehat,” atau “Semoga dia tidak pernah merasa sedih.” Sederhana, tulus, dan tanpa pamrih.
Momen-Momen Kecil yang Menguatkan Rasa
Kadang kami berpapasan di kantin, kadang aku melihatnya main basket saat jam istirahat. Setiap momen itu seperti menambahkan sedikit demi sedikit bahan bakar untuk perasaan yang kusimpan sendiri. Aku tidak tahu apakah dia tahu aku ada. Mungkin tidak. Tapi tidak apa-apa. Aku cukup bahagia dengan mencintai dari jauh.
Ada satu momen yang sangat membekas. Suatu hari saat upacara, posisiku agak mundur karena datang terlambat. Ternyata dia pun berdiri tak jauh dariku. Dan untuk pertama kalinya, kami benar-benar bertatapan dalam jarak dekat. Tidak sengaja, tidak direncanakan, tapi jelas. Tatapan itu membuat wajahku memerah seketika dan aku menunduk dengan gugup. Tapi setelah itu, seharian aku tak bisa berhenti tersenyum.
Waktu Berjalan, Tapi Kenangan Tak Hilang
Tahun demi tahun berlalu. Aku tidak pernah benar-benar berbicara dengannya. Kami lulus sekolah, masing-masing menempuh jalan yang berbeda. Tapi kenangan tentang tatapan pertama di lapangan upacara itu tidak pernah hilang. Ia tetap tinggal di hati, menjadi bagian dari cerita masa muda yang paling manis.
Sesekali aku membuka album foto sekolah, berharap menemukan bayangannya. Kadang aku mengecek media sosial, bertanya-tanya bagaimana kabarnya sekarang. Tapi aku tidak pernah benar-benar mencari atau mencoba menghubunginya. Bukan karena tidak berani, tapi karena merasa bahwa kenangan itu terlalu indah untuk diusik.
Cinta Pertama yang Tidak Pernah Jadi
Cinta pertamaku bukan cinta yang besar. Ia tidak pernah berkembang menjadi hubungan yang nyata. Tapi ia adalah cinta yang paling jujur. Tidak ada sandiwara, tidak ada harapan untuk dimiliki, hanya perasaan yang tumbuh karena tatapan singkat dan kehadiran yang membuat hari-hariku lebih cerah.
Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana jika dulu aku berani menyapa? Bagaimana jika aku memberanikan diri untuk mengenalnya lebih jauh? Tapi pertanyaan itu tidak lagi penting. Karena tanpa harus menjadi nyata pun, cinta itu sudah memberi pelajaran berharga: bahwa perasaan paling murni sering kali hadir dalam bentuk yang paling sederhana.
Tatapan pertama itu mengajarkanku bahwa cinta tidak harus rumit. Ia bisa tumbuh dari sebuah pertemuan singkat yang tak disengaja, dan tetap hidup dalam ingatan meski waktu terus berjalan.
Baca Juga: madrid778
Leave a Reply