Bangku kelas yang itu-itu saja, papan tulis berdebu, dan suara guru yang sesekali terdengar seperti latar musik—semua itu adalah bagian dari rutinitas yang dulu terasa biasa. Tapi siapa sangka, justru di ruang kelas itulah rasa rindu pertama tumbuh. Rasa yang sederhana, tapi melekat erat di hati.
Namanya Wina. Duduk di bangku depan, dekat jendela. Rambutnya selalu dikepang dua, dan tiap kali dia tertawa, matanya menyempit seperti bulan sabit. Aku bukan orang yang menonjol di kelas, tapi entah bagaimana, aku dan dia sering duduk sebangku kalau ada tugas kelompok atau pelajaran gabungan.
Dari situlah semuanya dimulai—perasaan yang tak kumengerti saat itu, tapi kini kusadari sebagai bentuk rindu yang muncul bahkan sebelum kehilangan terjadi.
Dari Sebangku Jadi Sebrasa
Aku ingat betul pelajaran Matematika hari itu. Guru membagikan soal dan menyuruh kami berpasangan. Kebetulan Wina duduk sendiri karena teman sebangkunya sakit. Aku pun memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya.
“Bareng ya?” tanyaku pelan.
“Boleh,” jawabnya singkat, dengan senyum kecil.
Kami mulai mengerjakan soal, dan dari situlah aku belajar satu hal—ternyata Wina sangat sabar. Ia tidak pernah mengeluh walau aku sering salah hitung atau salah tulis. Ia hanya tertawa, menyenggol lenganku, lalu menunjukkan cara yang benar.
Saat istirahat, kami tetap duduk di tempat. Mengobrol soal hobi, musik, bahkan makanan kesukaan. Aku mulai menyukai cara dia bercerita. Matanya selalu berbinar saat membahas hal kecil seperti es krim coklat atau lagu dari penyanyi Korea favoritnya.
Hari-hari berikutnya, aku mulai menantikan pelajaran kelompok. Bukan karena soalnya, tapi karena bisa duduk di sebelahnya lagi.
Diam-Diam Menanti
Meski kami semakin akrab, aku tak pernah punya keberanian untuk bilang bahwa aku menyukainya. Rasa rindu itu jadi teman setiap pulang sekolah. Aku merindukan senyumnya, suaranya, bahkan cara dia mengucap “makasih” saat aku meminjamkan pulpen.
Ada satu momen yang paling aku ingat. Saat hujan deras turun menjelang pulang sekolah, dan semua siswa berteduh. Aku melihat Wina menggigil di dekat pintu kelas, karena jaketnya basah. Tanpa berpikir panjang, aku melepas sweaterku dan memberikannya padanya.
Dia menatapku agak kaget, tapi menerimanya juga sambil berucap, “Nanti kamu kedinginan, lho.”
Aku hanya tersenyum dan menjawab, “Nggak apa-apa. Yang penting kamu nggak sakit.”
Sejak hari itu, rasanya kami jadi lebih dekat. Tapi tetap, aku menyimpan semua rasa itu dalam diam.
Saat Waktu Memisahkan
Kelas 12 datang terlalu cepat. Semua orang sibuk persiapan ujian dan pendaftaran kuliah. Suasana sekolah tidak lagi santai. Wina mulai jarang duduk denganku karena sering bolak-balik bimbel.
Sampai akhirnya hari itu tiba—hari pengumuman kelulusan. Semua siswa bersorak bahagia. Aku pun bahagia. Tapi di balik itu, ada rasa hampa. Aku sadar, tak akan bisa lagi duduk di sebelah Wina setiap pagi. Tak akan ada lagi alasan untuk datang lebih awal ke kelas atau sengaja meminjam buku meski punya sendiri.
Setelah upacara, aku menemui Wina di halaman sekolah.
“Selamat ya, akhirnya kita lulus juga,” kataku.
“Selamat juga,” jawabnya, “makasih buat semuanya selama ini.”
Aku ingin mengatakan lebih. Aku ingin mengatakan bahwa aku menyukainya sejak pertama kali duduk sebangku. Tapi bibirku hanya bisa menjawab, “Sama-sama.”
Dia tersenyum, lalu berpamitan. Dan saat ia melangkah pergi, aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang belum sempat benar-benar kudapatkan.
Rindu yang Tetap Tinggal
Sekarang, bertahun-tahun kemudian, aku duduk di kantor sambil menatap jendela. Hujan turun, dan aroma tanah basah memenuhi udara. Kenangan tentang bangku kelas, suara tawa Wina, dan sweater basah itu kembali seperti film yang diputar ulang.
Kami tidak pernah saling menghubungi lagi. Aku tak tahu dia sekarang tinggal di mana, bekerja di mana, atau apakah dia masih mengingatku. Tapi setiap kali aku duduk di ruang sunyi dan mendengar suara gerimis, rasa rindu itu hadir lagi.
Bukan karena aku belum move on, tapi karena cinta masa muda itu memang begitu: murni, jujur, dan tak membutuhkan balasan untuk tetap hidup dalam kenangan.
Bangku Itu Masih Ada
Kadang, aku lewat depan sekolah lama. Sesekali aku mampir dan berjalan ke kelas yang dulu. Bangkunya masih ada. Bahkan papan tulisnya masih sama. Dan saat duduk di sana, aku bisa merasakan semuanya kembali. Suara guru, tawa teman-teman, dan… rasa rindu yang pelan-pelan menyelinap ke dada.
Cinta masa muda memang sering kali tak berakhir di pelaminan. Tapi ia menyisakan sesuatu yang lebih berharga: kenangan yang tak lekang, dan pelajaran tentang bagaimana rasanya mencintai seseorang tanpa syarat, walau dalam diam.
Rasa rindu itu mungkin tak akan pernah usai, tapi aku bersyukur pernah merasakannya—di bangku kelas, bersama seorang gadis bernama Wina, di masa remaja yang tak akan kembali.
Baca Juga: madrid778
Leave a Reply