Di era sebelum chat dan media sosial, menyatakan cinta bisa jadi perkara besar. Surat cinta menjadi cara klasik yang romantis, penuh debar, dan tentunya… penuh risiko. Itulah yang terjadi padaku saat masih duduk di bangku kelas 10 SMA—pengalaman cinta masa muda yang sampai sekarang masih membuatku tertawa malu setiap kali mengingatnya.
Semua bermula dari rasa suka yang diam-diam kupendam pada seorang teman sekelas bernama Raka. Ia bukan cowok paling populer di sekolah, tapi bagi mataku, dia paling menarik. Sikapnya tenang, pintar, dan kalau senyum, dunia rasanya jadi lebih hangat. Tentu saja aku tidak cukup berani untuk langsung menyatakan perasaan. Jadi aku memilih cara klasik: menulis surat cinta.
Surat Cinta Pertama
Aku menulis surat itu dengan hati-hati, memilih kata yang manis tapi tidak berlebihan. Tidak ada “aku cinta kamu”, hanya ungkapan kekaguman sederhana. Aku juga tak menulis nama pengirim. Tujuanku cuma satu: membuat dia tahu bahwa ada seseorang yang menyukainya dari jauh. Surat itu kutaruh dalam amplop kecil berwarna biru, dan aku rencanakan untuk menyelipkannya di laci mejanya saat semua orang pergi istirahat.
Namun rencana sempurna itu berubah kacau karena satu hal sederhana: aku tergesa-gesa. Saat masuk ke kelas yang kosong, aku buru-buru membuka laci yang kupikir milik Raka dan meletakkan suratnya di sana. Lalu pergi dengan deg-degan dan hati berbunga-bunga, membayangkan reaksinya saat membacanya nanti.
Keesokan Harinya: Kejutan
Pagi itu aku datang lebih pagi dari biasanya, ingin melihat reaksi Raka dari jauh. Tapi yang kulihat malah kejadian yang membuatku nyaris pingsan. Bukan Raka yang membuka surat itu, melainkan Aldi—teman sekelas lain yang duduk di meja belakang!
Mataku membelalak. Aldi membaca surat itu dengan dahi mengernyit, lalu tersenyum simpul dan mulai menoleh ke seisi kelas, seolah mencari-cari siapa pengirim misteriusnya. Aku langsung membenamkan kepala di balik buku. Wajahku panas. Jantungku berpacu seperti genderang perang.
Malu Sekaligus Lucu
Aku ingin menghilang saat itu juga. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, sejak hari itu Aldi mulai bertingkah aneh. Ia jadi sering menyapaku, duduk lebih dekat, dan bahkan beberapa kali membawakan permen saat jam istirahat. Aku yakin dia salah paham dan mengira akulah pengirim surat itu. Tapi bagaimana aku bisa mengaku kalau surat itu sebenarnya bukan untuk dia?
Teman-temanku mulai menggoda, “Wah, Aldi suka kamu tuh!” Aku hanya bisa tersenyum canggung, sambil berharap Raka tidak tahu apa-apa. Tapi kenyataan selalu punya cara lucu untuk menguji mental.
Rahasia Terbongkar
Seminggu setelah kejadian itu, saat aku sedang duduk di perpustakaan, Raka tiba-tiba duduk di kursi sebelahku. Aku kaget, tapi berusaha tetap tenang. Tanpa banyak basa-basi, dia berkata, “Kamu pasti yang nulis surat itu buat Aldi, ya?”
Aku nyaris tersedak. Sebelum aku menjawab, dia melanjutkan, “Kalau kamu mau nulis buat aku, seharusnya kamu pastikan nggak salah kotak, hahaha.”
Wajahku merah padam. Antara malu dan tak percaya, ternyata dia tahu! Raka tertawa kecil, lalu berkata dengan nada lembut, “Tenang aja, aku nggak marah. Bahkan, aku senang sih. Suratnya manis banget. Tapi ya… sayangnya yang baca bukan aku.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tapi entah kenapa, mendengar pengakuannya membuatku lega. Setidaknya dia tahu perasaanku, walau dengan cara yang sangat konyol.
Akhir yang Tak Terduga
Beberapa minggu setelah insiden itu, Raka mulai lebih sering berbicara denganku. Dia tidak pernah secara langsung membalas perasaan yang kutulis dalam surat itu, tapi kami menjadi lebih dekat. Kami mulai pulang bareng setelah les, ngobrol di kantin, dan saling kirim catatan kecil lewat buku pelajaran.
Sementara itu, Aldi yang awalnya semangat, perlahan mulai menjauh. Mungkin dia sadar surat itu bukan buatnya, atau mungkin dia memang hanya iseng. Tapi aku berterima kasih karena ia tidak pernah mempermalukanku soal surat itu.
Yang jelas, dari kejadian memalukan itu, aku belajar banyak. Tentang keberanian, tentang pentingnya memperhatikan detail (seperti memastikan laci siapa yang kita tuju), dan tentu saja—tentang betapa lucunya cinta masa muda.
Cinta yang Tertinggal di Laci
Sekarang, bertahun-tahun kemudian, aku masih suka senyum sendiri kalau mengingat kisah itu. Cinta pertama yang diawali dari surat yang salah kotak tapi justru membuka jalan untuk pertemanan yang lebih hangat. Kami tidak pernah benar-benar pacaran, tapi kenangan itu selalu menjadi bagian manis dari masa sekolahku.
Surat itu mungkin tak pernah sampai ke tangan yang tepat, tapi rasanya tetap sampai ke hati. Dan kadang, hal-hal indah memang terjadi dari kesalahan kecil yang tak disengaja.
Baca Juga: madrid778
Leave a Reply